Ads 468x60px

Thursday, March 29, 2012

Diskusi Bulanan Kebijakan Publik (BEM FMIPA) Mengenai Keputusan Dirjen Dikti

Baru-baru ini, ada sebuah terobosan yang agak mengagetkan dan memicu kontroversi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Ditjen Dikti melalui Surat Edaran (SE) Nomor 152/E/T/2012 tentang "Publikasi Karya Ilmiah" pada Jumat (27/1/) lalu mensyaratkanpublikasi karya ilmiah di jurnal ilmiah sebagai salah satu syarat kelulusan bagi sarjana (S1), magister (S2) dan doktor (S3). Ketentuan ini diberlakukan bagi kelulusan mulai Agustus 2012 nanti. Adapun ketentuan spesifiknya, yaitu:

Dalam konteks idenya dan secara ideal, terobosan Ditjen Dikti itu sangat positif. Sebab, pertama, keputusan Ditjen Dikti itu secara tidak langsung akan mempertinggi kualitas lulusan universitas di negeri kita. Kedua, keputusan itu akan membuat tradisi menulis secara ilmiah menjadi berkembang di kalangan akademisi kita. Ketiga, jika sudah banyak ditelurkan karya tulis ilmiah, itu secara tidak langsung akan memicu meningkatnya minat baca masyarakat kita, khususnya kalangan akademisi. Keempat, negeri ini akan memiliki begitu banyak karya ilmiah yang di dalamnya memuat gagasan, ide dan terbososan-terobosan yang bersifat ilmiah yang mungkin bisa menjadi rujukan atau inspirasi bagi berbagai penelitian dan penemuan baru di bidang keilmuan yang bermanfaat besar bagi masyarakat.
Namun, pada tatanan praktek, terobosan itu terasa terlalu dini untuk direalisasikan menjadi keputusan, apalagi keputusan yang bersifat mengikat (bukan alternatif). Sebab, masih banyak kendala yang harus diselesaikan dan persiapan yang harus disiapkan terlebih dahulu sebelum terobosan itu dibuat menjadi keputusan. Misalnya, pertama, jumlah jurnal ilmiah kita yang masih belum memadai untuk memuat karya ilmiah jumlah sarjana kita setiap tahunnya. Kedua, daya kontrol terhadap kualitas jurnalnya atau pun tulisan-tulisan di dalamnya. Pada tingkat ini, masih dipertanyakan, cukupkah akreditasi Dikti menjadi jaminan berkualitasnya sebuah jurnal? Terjaminkah semua tulisan yang termuat telah memenuhi persyaratan ayng telah disepakati saat jurnal itu diakreditasi?. Ketiga, para akademisi kita masih sering kerepotan –bahkan sering ada yang hingga melakukan praktek plagiat- dalam pembuatan skripsi, tesis atau disertasi. Llau, apakah pesyaratan tambahan ini tidak justru memberatkan dan nantinya takkan efektif? Bukankah lebih baik Dikti membuat sistem perketatan terhadap skripsi, tesis dan disertasi agar bebas dari plagiat dan benar-benar berkualitas?
Tampaknya, masih banyak masalah yang harus diselesaikan sebelum keputusan itu benar-benar diimplementasikan. Ada baiknya pemerintah tidak berasumsi bahwa pengejaran kuantitas publikasi ilmiah dapat dijadikan indikasi peningkatan kualitas karya. Sebab, keduanya sering tidak linier. Bahkan, yang terjadi di negeri ini sering kali sebaliknya; pengejaran kuantitas yang kemudian memberatkan mahasiswa sering kali 'menginspirasi' mereka untuk melakukan praktek plagiat atau praktek curang lainnya.
Namun, terlepas dari keputusan itu, negeri ini memang butuh lebih banyak lagi jurnal ilmiah untuk menunjang tradisi ilmiah di masyarakat kita, khususnya kalangan akademisi. Keberadaan jurnal ilmiah dengan konten yang berkualitas dapat menjadi parameter tingginya sebuah peradaban bangsa. Karenanya, ada baiknya kontroversi keputusan Ditjen Dikti ini menjadi renungan dan motifasi bagi kita untuk menciptakan jurnal ilmiah yang berkualitas. [Husein/Mizan.com] 

http://www.dikti.go.id/attachments/article/2670/Surat%20Publikasi%20Karya%20Ilmiah.pdf

0 komentar:

 
Blogger Templates